top of page
Search
  • u4ng94

Merunut Kisah Pembuatan Topi Caping Di Kota Reog Ponorogo

Bagi kita yang sudah terbiasa hidup enak di kota, mungkin tidak akan merasakan nikmatnya hidup di pedesaan. Kultur budaya yang semakin berubah menyebabkan berbagai kerajinan tradisional menghilang, walaupun tidak semuanya. Salah satu kerajinan dari kota Reog, Ponorogo yang satu ini masih eksis di tengah kemelut dunia industri modern tanah air.

Kerajinan yang dimaksud adalah kerajinan topi caping. Pernahkah anda mendengar tentang topi caping?


Merunut Kisah dan Sejarah Pembuatan Topi Caping di Kota Ponorogo



Topi caping merupakan sebuah kerajinan anyaman berbahan dasar batang bambu yang telah dipotong serta dihaluskan. Anyaman ini kemudian dibuat menyerupai bentuk kerucut. Pada bagian bawahnya, topi caping ini biasa diberi tali yang menghubungkan sisi satu dan sisi lainnya sehingga bisa dilingkarkan pada leher.


Pada jaman dahulu, para petani Indonesia sering sekali menggunakan topi caping ini setiap kali mereka bekerja di ladang atau sawah. Topi ini memiliki bagian bawah yang lebar sehingga mampu melindungi bagian wajah para petani dari sinar matahari secara langsung.

Proses pembuatan topi caping ini tergolong tidak mudah, namun juga tidak terlalu sulit bagi para pengrajin. Hanya saja, dalam proses pembuatannya, tidak cukup 1 orang saja yang menanganinya. Di kota Ponorogo sendiri, sentra pembuatan topi caping berada di Desa Karanggebang, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo.


Sudah sejak dahulu kawasan ini menjadi sentra produksi topi caping. Bahkan menurut keterangan dari kepala dusun Karanggebang, sudah sejak tahun 1960-an kawasan tersebut dijadikan sebagai pusat pembuatan topi caping di kota Reog tersebut. Hal yang melatarbelakangi sejarah tersebut adalah kebanyakan warga Ponorogo lebih suka menghasilkan uang dengan berkarya di rumah. Sehingga kegiatan ini dianggap sebagai warisan dari leluhur yang mulia.


Proses pembuatan topi caping yang ada di Ponorogo ini dilakukan secara bertahap. Setiap orang biasanya akan memiliki tanggungjawabnya sendiri. Sistem seperti ini mirip dengan sistem kerja yang diadopsi oleh berbagai perusahaan modern. Dalam sentra pembuatan caping, sistem ini disebut dengan sistem gotong royong.


Proses pembuatan topi caping dimulai dengan memilih dan memilah bambu yang terbaik untuk digunakan sebagai bahan dasar caping. Setelah itu, ada bagian tersendiri yang bertugas untuk membentuk bambu menjadi lembaran-lembaran tipis yang homogen. Bambu yang telah disiapkan kemudian dianyam hingga menjadi barang setengah jadi. Lalu anyaman yang setengah jadi tersebut kemudian diteruskan oleh orang lain.


Setelah anyaman topi caping jadi seluruhnya, ada orang lain yang bertugas untuk membuat tepian caping. Pinggiran caping tersebut dinamakan dengan blengker. Setelah itu, topi caping masuk dalam tahap finishing. Dalam tahap finishing ini topi caping akan mendapatkan pengecekan akhir dari pemilik usaha. Topi caping juga akan diberi pewarna sehingga mampu memiliki nilai jual yang tinggi serta sering disebut sebagai pekerjaan yang menghasilkan uang di internet.


Proses pembuatan topi caping ini biasanya dikelompokkan dari topi caping yang berukuran kecil hingga besar. Dan masing-masing ukuran memiliki “divisi” produksi yang berbeda pula. pemilik usaha topi caping di Ponorogo mengaku tidak takut produk mereka tenggelam dalam persaingan dengan produk pelindung kepala lain yang jelas jauh lebih modern.


Hal ini dikarenakan di masa depan masih ada banyak petani yang masih akan membutuhkan produk caping ini dan bukan hanya sekedar topi biasa. Dari bisnis topi caping ini, pelajaran yang bisa kita ambil adalah kita tidak boleh pesimis akan produk yang menjadi objek bisnis kita. Kita harus senantiasa optimis dan menggunakan semua peluang untuk menciptakan bisnis yang menguntungkan.

90 views0 comments
bottom of page